1. Benturan Kepentingan
Perbedaan
kepentingan adalah situasi dimana seseorang kemungkinan tidak dapat menentukan
point bahwa ia mungkin akan termotivasi untuk melakukan suatu tindakan dengan
kepentingan berbeda dengan kepentingan yang seharusnya mereka lakukan. Terdapat
beberapa tipe dari perbedaan kepentingan, seperti kenyataan, potensi, atau
khayalan. Perbedaan kepentingan yang sesungguhnya ketika mengambil suatu
motivasi untuk melakukan aktivitas yang tidak benar. Konflik perbedaan
kepentingan potensial adalah situasi yang ada ketika terdapat kesempatan untuk
suatu keuntungan menjadi bujukan untuk melakukan tindakan mendapatkan
keuntungan lain. Perbedaan kepentingan imaginary/khayalan adalah figment
imajinasi seseorang.
Benturan
kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan
kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama
perusahaan. Perusahaan menerapkan kebijakan bahwa personilnya harus menghindari
investasi, asosiasi atau hubungan lain yang akan mengganggu, atau terlihat dapat
mengganggu, dengan penilaian baik mereka berkenaan dengan kepentingan terbaik
perusahaan. Sebuah situasi konflik dapat timbul manakala personil mengambil
tindakan atau memiliki kepentingan yang dapat menimbulkan kesulitan bagi mereka
untuk melaksanakan pekerjaannya secara obyektif dan efektif.
Benturan
kepentingan juga muncul manakala seorang karyawan, petugas atau direktur, atau
seorang anggota dari keluarganya, menerima tunjangan pribadi yang tidak layak
sebagai akibat dari kedudukannya dalam perusahaan. Apabila situasi semacam itu
muncul, atau apabila individu tidak yakin apakah suatu situasi merupakan
benturan kepentingan, ia harus segera melaporkan hal – hal yang terkait dengan
situasi tersebut kepada petugas kepatuhan perusahaan. Apabila manajemen senior
perusahaan menetapkan bahwa situasi tersebut menimbulkan benturan kepentingan,
mereka harus segera melaporkan benturan kepentingan tersebut kepada komite
pemeriksa.
Berikut ini merupakan berberapa contoh upaya perusahaan/organisasi dalam menghindari benturan kepentingan :
Berikut ini merupakan berberapa contoh upaya perusahaan/organisasi dalam menghindari benturan kepentingan :
a.
Menghindarkan diri dari tindakan dan situasi yang
dapat menimbulkan benturan kepentingan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan perusahaan.
b.
Mengusahakan lahan pribadi untuk digunakan sebagai
kebun perusahaan yang dapat menimbulkan potensi penyimpangan kegiatan
pemupukan.
c.
Menyewakan properti pribadi kepada perusahaan yang
dapat menimbulkan potensi penyimpangan kegiatan pemeliharaan.
d.
Mengungkapkan dan melaporkan setiap kepentingan dan
atau kegiatan – kegiatan di luar pekerjaan dari perusahaan, yaitu :
1)
Kepada atasan langsung bagi karyawan,
2)
Kepada Pemegang Saham bagi Komisaris, dan
3)
Kepada Komisaris dan Pemegang Saham bagi Direksi.
e.
Memiliki bisnis pribadi yang sama dengan perusahaan.
f.
Menghormati hak setiap insan perusahaan untuk memiliki
kegiatan di luar jam kerja, yang sah, di luar pekerjaan dari perusahaan, dan
yang bebas dari benturan dengan kepentingan.
g.
Tidak akan memegang jabatan pada lembaga – lembaga
atau institusi lain di luar perusahaan dalam bentuk apapun, kecuali telah mendapat
persetujuan tertulis dari yang berwenang.
h.
Menghindarkan diri dari memiliki suatu kepentingan
baik keuangan maupun non–keuangan pada organisasi/perusahaan yang merupakan
pesaing, antara lain :
1)
Menghindari situasi atau perilaku yang dapat
menimbulkan kesan atau spekulasi atau kecurigaan akan adanya benturan
kepentingan.
2)
Mengungkapkan atau melaporkan setiap kemungkinan
(potensi) benturan kepentingan pada suatu kontrak atau sebelum kontrak tersebut
disetujui.
3)
Tidak akan melakukan investasi atau ikatan bisnis pada
individu dan pihak lain yang mempunyai keterkaitan bisnis dengan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
2.
Etika dalam
Tempat Kerja
Dalam
pandangan rasional tentang perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah
untuk bekerja mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan – kegiatan
yang mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti
menyimpang dari tujuan – tujuan tersebut dan berusaha meraih kepentingan
sendiri dalam cara – cara yang jika melanggar hukum dapat dinyatakan sebagai
salah satu bentuk “kejahatan kerah putih”.
Adapun
beberapa praktik di dalam suatu pekerjaan yang dilandasi dengan etika dengan
berinteraksi di dalam suatu perusahaan, misalnya :
a.
Etika Terhadap Saingan
Kadang – kadang
ada produsen berbuat kurang etis terhadap saingan dengan menyebarkan rumor,
bahwa produk saingan kurang bermutu atau juga terjadi produk saingan dirusak
dan dijual kembali ke pasar, sehingga menimbulkan citra negatif dari pihak
konsumen.
b.
Etika Hubungan dengan Karyawan
Di dalam
perusahaan ada aturan – aturan dan batas – batas etika yang mengatur hubungan
atasan dan bawahan. Atasan harus ramah dan menghormati hak – hak bawahan. Karyawan
diberi kesempatan naik pangkat, dan memperoleh penghargaan.
c.
Etika dalam hubungan dengan publik
Hubungan
dengan publik harus dujaga sebaik mungkin, agar selalu terpelihara hubungan
harmonis. Hubungan dengan public ini menyangkut pemeliharaan ekologi,
lingkungan hidup. Hal ini meliputi konservasi alam, daur ulang dan polusi.
Menjaga kelestarian alam, recycling (daur ulang) produk adalah uasha – usaha
yang dapat dilakukan perusahaan dalam rangka mencegah polusi, dan menghemat
sumber daya alam.
Kebebasan
dan martabat dari seseorang, data pribadi dan property
a.
Perbedaan dari hak seseorang, hak tenaga
kerja dan hak masyarakat/publik.
b.
Prosedur yang pantas : pemberitahuan dan
kandungan prosedur.
c.
Pengujian terhadap penyalahgunaan
substansi.
d.
Gangguan, sexual dan sebaliknya.
e.
Perlakuan yang adil.
f.
Diskriminasi : umur, gender, gaji
g.
Kebijakan yang adil
Kesehatan
dan lingkungan kerja yang aman
a.
Harapan : beralasan, hak untuk tahu,
stress, kehidupan keluarga, productivity.
b.
Perhatian terhadap kualitas hidup :
asap, kesehatan.
c.
Lingkungan kerja yang ramah.
Kemampuan
untuk berlatih
a.
Blind loyalty
b.
Whistle blowing
3. Aktivitas Bisnis Internasional – Masalah Budaya
Ketika suatu perusahaan beroperasi diluar pasar
domestiknya, ada panduan yang harus ditawarkan kepada para pegawainya, yang
harus mencerminkan seberapa sering operasi akan berpengaruh pada ekonomi lokal
dan kebudayaan lokal, apakah praktik asing yang berbeda, misalnya
penyebarluasan, pemberian hadiah atau suap, dan reaksi terhadap perubahan
stakeholders domestik dan khususnya stakeholders utama, termasuk major customer (pelanggan utama) dan
pasar modal. Perusahaan multinasional akan memberikan pengaruh signifikan
terhadap kebudayaan lokal, sehingga mereka harus berhati – hati agar tidak
memberikan pengaruh buruk terhadap pasar tenaga kerja (tarif upah, ketersediaan
tenaga kerja), bagan mentah dan input lainnya, politik dan proses legal, dan
religius/kepercayaan dan adat istiadat. Bila mereka mengabaikan kepercayaan dan
adat istiadat setempat, maka perusahaan dan para pekerjanya akan
dituduh/disalahkan terhadap cultural
imperialism dan akan mengalami kesulitan dalam menentukan aktivitasnya di
masa depan.
Seorang pemimpin memiliki peranan penting dalam membentuk budaya
perusahaan. Hal itu bukanlah sesuatu yang kabur dan hambar, melainkan sebuah
gambaran jelas dan konkrit. Jadi, budaya itu adalah tingkah laku, yaitu cara
individu bertingkah laku dalam mereka melakukan sesuatu.
Tidaklah mengherankan, bila sama – sama kita telaah kebanyakan perusahaan
sekarang ini. Para pemimpin yang bergelimang dengan fasilitas dan berbagai
kondisi kemudahan. Giliran situasinya dibalik dengan perjuangan dan persaingan,
mereka mengeluh dan malah sering mengumpat bahwa itu semua karena SDM kita yang
tidak kompeten dan tidak mampu. Mereka sendirilah yang membentuk budaya itu
(masalah budaya). Semua karena percontohan, penularan dan panutan dari masing –
masing pemimpin. Maka timbul paradigma, mengubah budaya perusahaan itu sendiri.
Budaya perusahaan memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan
perilaku etis, karena budaya perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma
yang membimbing tindakan karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya prilaku.
Dan sebaliknya dapat pula mendorong terciptanya prilaku yang tidak etis.
4.
Akuntabilitas
Sosial
Akuntabilitas
sosial sering kali diartikan menjadi sebuah pendekatan yang menempatkan kontrak
sosial sebagai sebuah instrumen dasar dalam mengembangkan prinsip akuntabilitas
dari praktek pemerintahan. Pada titik ini, partisipasi setiap warga negara dan
segenap elemen civil society
sangatlah signifikan. Sebab, inti dari kontrak sosial adalah adanya partisipasi
warga negara dan elemen civil society untuk memastikan implementasi prinsip
akuntabilitas dalam setiap kebijakan publik.
Berkaitan
dengan kontrak sosial, sebuah proses akuntabilitas sosial idealnya bisa memberi
ruang bagi masyarakat untuk :
c.
Bersuara
Artinya,
masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan pendapat sebagai perwujudan
dari hak sipil dan politik yang dimilikinya. Melalui kesempatan bersuara,
masyarakat diharapkan bisa berpartisipasi aktif dan menghilangkan berbagai sumbatan
dalam proses komunikasi politik di setiap proses kebijakan publik.
d.
Memilih
Artinya,
masyarakat diberi kesempatan untuk memilih saluran kepentingan yang sesuai
dengan preferensinya masing – masing. Pada titik ini, masyarakat didorong untuk
dapat memaksimalkan kepentingannya melalui saluran yang mereka pilih dalam
setiap proses kebijakan publik.
e.
Menentukan jalan ke luar
Artinya,
masyarakat memilki cukup ruang untuk menentukan jalan ke luar bagi setiap
persoalan yang muncul dalam proses kebijakan publik. Guna mewujudkan
maksimalisasi kinerja akuntabilitas sosial, secara umum, terdapat sejumlah
faktor yang sering dijadikan sebagai prasyarat pokok bagi pelaksanaan
akuntabilitas sosial. Faktor – faktor tersebut, antara lain :
1)
Keberadaan Mekanisme yang Menjembatani Hubungan antara
Negara dan Masyarakat
Usaha untuk
mewujudkan sebuah akuntabilitas sosial dalam praktek pemerintahan, banyak
bertumpu pada ada tidaknya sejumlah mekanisme yang mampu menjembatani hubungan
antara negara dan masyarakat. Mekanisme ini mempunyai makna strategis, sebab,
pertukaran informasi, dialog dan negosiasi dapat dilakukan oleh berbagai elemen
baik dari negara maupun dari masyarakat melalui sejumlah mekanisme tersebut.
Keberadaan mekanisme yang menjembatani hubungan negara dan masyarakat, di
tingkatan operasional, dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memperkenalkan
cara – cara baru, kesempatan – kesempatan baru serta program – program baru
bagi interaksi negara dan masyarakat yang sederhana dan efektif. Selain itu,
keberadaan mekanisme ini juga bisa digunakan untuk memperbaiki, memperbarui
serta mereformasi berbagai mekanisme, sistem dan aktor yang telah ada dan
dianggap usang.
Contoh
kongkret dari mekanisme yang menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat
adalah keberadaan Dinas Komunikasi dan Informasi dari setiap Pemerintah
Kabupaten dan Kota. Dinas ini dibentuk tidak untuk pengendalian informasi,
namun sebaliknya, justru untuk meniadakan informasi yang asimetris antara
negara dan masyarakat.
2)
Keinginan dan Kapasitas dari Warga Negara dan Aktor – aktor
Civil Society yang Kuat untuk Secara
Aktif Terlibat dalam Proses Akuntabilitas Pemerintah
Adanya
keinginan dan kapasitas yang kuat dari warga negara dan aktor – aktor Civil Society untuk terlibat dalam
proses akuntabilitas pemerintah merupakan prasyarat penting bagi terwujudnya
akuntabilitas sosial. Dalam aras praksis, faktor ini acap kali berbenturan dengan
sejumlah persoalan seperti, fakta lemahnya elemen Civil Society dan adanya
pemikiran bahwa warga negara kurang berdaya.
3)
Keinginan dan Kapasitas dari Politisi dan Birokrat untuk
Mempertimbangkan Masyarakat
Keberadaan
faktor ini menjadi demikian penting, sebab, hambatan terbesar bagi perwujudan
akuntabilitas sosial sering kali berasal dari keengganan para politisi dan
birokrat untuk membuka semua informasi serta mendengarkan setiap pendapat
masyarakat. Banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa kepekaan politisi dan
birokrat terhadap aspirasi masyarakat dapat merubah pola interaksi antara
negara dan masyarakat. Pada titik ini, pola interaksi kedua elemen tersebut
dapat semakin disinergikan, sehingga terbentuk sebuah pola interaksi yang
bersifat timbal balik antara aktor – aktor baik yang berasal dari negara maupun
masyarakat.
4)
Lingkungan yang Memungkinkan
Maksudnya
adalah proses perwujudan akuntabilitas sosial juga menuntut adanya lingkungan
politik, ekonomi dan budaya yang memadai. Pada ranah politik, sebuah proses
akuntabilitas sosial tidak mungkin berhasil, manakala tidak didukung oleh keberadaan
rejim yang demokratis, adanya sistem multi partai serta pengakuan legal–formal
dari hak – hak sipil dan politik dari warga negara. Demikian juga di ranah
ekonomi dan budaya, sebuah upaya perwujudan akuntabilitas sosial akan menjadi
sia – sia ketika lingkungan sosial dan ekonomi tidak menyediakan kesempatan
bagi warga negara untuk memperoleh akses partisipasi yang sama di kedua ranah
tersebut.
5.
Manajemen
Krisis
Krisis
merupakan suatu kejadian besar dan tidak terduga yang memiliki potensi untuk berdampak
negatif maupun positif. Kejadian ini bisa saja menghancurkan organisasi dan
karyawan, produk, jasa, kondisi keuangan, dan reputasi. Krisis merupakan
keadaan yang tidak stabil dimana perubahan yang cukup menentukan mengancam,
baik perubahan yang tidak diharapkan ataupun perubahan yang diharapkan akan
memberikan hasil yang lebih baik. Organisasi yang memikirkan dampak negatif
yang mungkin ditimbulkan dari suatu krisis akan berusaha untuk mempersiapkan
diri sebelum krisis tersebut terjadi. Bahkan ada peluang dimana organisasi
dapat mengubah krisis menjadi suatu kesempatan untuk memperoleh dukungan
publik.
Sebab krisis
– krisis terjadi apabila ada benturan kepentingan antara organisasi dengan
publiknya. Secara umum dapat dijelaskan bahwa penyebab krisis adalah :
Sebab umum :
a.
gangguan kesejahtraan dan rasa aman
b.
tanggung jawab sosial diabaikan
Sebab khusus
:
a.
kesalahan pengelola yang mengganggu lapisan bawah
b.
penurunan profit yang tajam
c.
penyelewengan
d.
perubahan permintaan pasar
e.
kegagalan/penarikan produk
f.
regulasi dan deregulasi
g.
kecelakaan atau bencana alam.
Krisis
dapat diartikan sebagai suatu waktu yang tidak stabil atau pernyataan tentang
suatu pekerjaan dimana suatu perubahan yang sangat menentukan menjadi tertunda.
Krisis manajemen sebaiknya meliputi seni memindahkan resiko dan ketidakpastian
dalam rangka untuk mencapai pengendalian yang lebih (melebihi tujuan dasar).
Dasar fundamental manajemen krisis adalah memahami 4 fase krisis, yaitu :
a.
Warning;
peringatan pre krisis dan deteksi
b.
Acute;
beberapa kerugian atau kerusakan telah terjadi, berapa banyak tambahan
kerusakan yang mungkin terjadi tergantung kepada kita, mencoba untuk kendalikan
krisis, dan jika tidak bisa, cobalah untuk mempengaruhi dimana, kapan dan
bagaimana krisis tersebut akan terjadi
c.
Chronic;
terdiri dari clean up dan recovery, post mortem/self analysis,
rencana krisis manajemen selanjutnya, dan dapat tetap hidup/bertahan
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar