Rabu, 11 Mei 2011

Peran UKM Dalam Perekonomian Indonesia

Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Karena dengan UKM ini, pengangguran akibat angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja menjadi berkurang.
Sektor UKM telah dipromosikan dan dijadikan sebagai agenda utama pembangunan ekonomi Indonesia. Sektor UKM telah terbukti tangguh, ketika terjadi Krisis Ekonomi 1998, hanya sektor UKM yang bertahan dari kolapsnya ekonomi, sementara sektor yang lebih besar justru tumbang oleh krisis. Mudradjad Kuncoro dalam Harian Bisnis Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2008 mengemukakan bahwa UKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua, tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga, menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor. Selama 1997-2006, jumlah perusahaan berskala UKM mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha di Indonesia. Sumbangan UKM terhadap produk domestik bruto mencapai 54%-57%. Sumbangan UKM terhadap penyerapan tenaga kerja sekitar 96%. Sebanyak 91% UKM melakukan kegiatan ekspor melalui pihak ketiga eksportir/pedagang perantara. Hanya 8,8% yang berhubungan langsung dengan pembeli/importir di luar negeri.Kualitas jasa juga dapat dimaksimalkan dengan adanya penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi ini dapat memberikan kontribusi positif dalam pengelolaan, sehingga organisasi dapat lebih terkontrol dengan mudah. Oleh sebab itu, organisasi harus selalu mengikuti dinamika perubahan teknologi yang terjadi.

Beberapa kesimpulan, setidak-tidaknya hipotesis telah ditarik mengenai hal ini. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat sebagaimana terjadi di Jepang, telah dikaitkan dengan besaran sektor usaha kecil. Kedua, dalam penciptaan lapangan kerja di Amerika Serikat sejak perang dunia II, sumbangan UKM ternyata tak bisa diabaikan. (D.L. Birch, 1979)
Krisis yang terjadi di Indonesia pada 1997 merupakan momen yang sangat menakutkan bagi perekonomian Indonesia. Krisis ini telah mengakibatkan kedudukan posisi pelaku sektor ekonomi berubah. Usaha besar satu persatu pailit karena bahan baku impor meningkat secara drastis, biaya cicilan utang meningkat sebagai akibat dari nilai tukar rupiah terhadap dolar yang menurun dan berfluktuasi. Sektor perbankan yang ikut terpuruk turut memperparah sektor industri dari sisi permodalan. Banyak perusahaan yang tidak mampu lagi meneruskan usaha karena tingkat bunga yang tinggi. Berbeda dengan UKM yang sebagian besar tetap bertahan, bahkan cendrung bertambah.
Ada beberapa alasan mengapa UKM dapat bertahan di tengah krisis moneter 1997 lalu. Pertama, sebagian besar UKM memproduksi barang konsumsi dan jasa-jasa dengan elastitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah, maka tingkat pendapatan rata-rata masyarakat tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan. Sebaliknya kenaikan tingkat pendapatan juga tidak berpengaruh pada permintaan. Kedua, sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank. Implikasinya keterpurukan sektor perbankan dan naiknya suku bunga, tidak banyak mempengaruhi sektor ini. Berbeda dengan sektor perbankan bermasalah, maka UKM ikut terganggu kegiatan usahanya. Sedangkan usaha berkala besar dapat bertahan. Di Indonesia, UKM mempergunakan modal sendiri dari tabungan dan aksesnya terhadap perbankan sangat rendah.
Terbukti saat krisis global yang terjadi beberapa waktu lalu, UKM hadir sebagai suatu solusi dari sistem perekonomian yang sehat. UKM merupakan salah satu sektor industri yang sedikit bahkan tidak sama sekali terkena dampak krisis global yang melanda dunia. Dengan bukti ini, jelas bahwa UKM dapat diperhitungkan dalam meningkatkan kekompetitifan pasar dan stabilisasi sistem ekonomi yang ada.
Kegiatan UKM meliputi berbagai kegiatan ekonomi, namun sebagian besar berbentuk usaha kecil yang bergerak disektor pertanian. Pada 1996, data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah UKM sebanyak 38,9 juta dengan rincian: sektor pertanian berjumlah 22,5 juta (57,9%); sektor industri pengolahan 2,7 juta (6,9%); sektor perdagangan, rumah makan dan hotel sebanyak 9,5 juta (24%); dan sisanya bergerak di bidang lain. Dari segi nilai ekspor nasional (BPS, 1998), Indonesia jauh tertinggal bila dibandingkan ekspor usaha kecil negara-negara lain, seperti Taiwan (65%), China (50%), Vietnam (20%), Hongkong (17%), dan Singapura (17%). Oleh karena itu, perlu dibuat kebijakan yang tepat untuk mendukung UKM seperti antara lain: perijinan, teknologi, struktur, manajemen, pelatihan dan pembiayaan.
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia UKM selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting, karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern. Peranan usaha kecil tersebut menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap perencanaan tahapan pembangunan yang dikelola oleh dua departemen yaitu Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta . Departemen Koperasi dan UKM. Namun, usaha pengembangan yang telah dilaksanakan masih belum memuaskan hasilnya karena pada kenyataannya kemajuan UKM sangat kecil dibandingkan dengan kemajuan yang sudah dicapai usaha besar. Pelaksanaan kebijaksanaan UKM oleh pemerintah selama Orde Baru, sedikit saja yang dilaksanakan, lebih banyak hanya merupakan semboyan saja sehingga hasilnya sangat tidak memuaskan. Pemerintah lebih berpihak pada pengusaha besar hampir di semua sektor, antara lain perdagangan, perbankan, kehutanan, pertanian dan industri.


Sumber:
>>http://portaljakarta.com/peran-ukm-dalam-mendorong-kekompetitifan-perekonomian-indonesia
Jam : 17.53 WIB

Tugas 4 Perekonomian Indonesia

Prospek Ekonomi Indonesia Tahun 2011
Perekonomian Indonesia pada 2010 dinilai sejumlah kalangan cukup menggembirakan. Di saat sebagian besar negara di dunia mengalami pertumbuhan negatif, perekonomian Indonesia justru tumbuh dengan laju sekitar enam persen. World Economic Forum melaporkan, peringkat daya saing Indonesia untuk 2010-2011 naik 10 tingkat di angka 44 dari peringkat sebelumnya di level 54. Kenaikan itu terutama didorong kinerja makro ekonomi yang sangat baik. Linerja ekspor tumbuh pesat.
Komite Ekonomi Nasional atau KEN, lembaga yang ditugasi untuk memberi masukan kebijakan ekonomi kepada Presiden, meyakini laju ekonomi Indonesia tahun depan akan melaju lebih cepat. KEN berharap bisa mendorong pemerintah memaksimalkan momentum pertumbuhan ekonomi ini. Antara lain dengan terciptanya koordinasi yang baik, pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, serta tetap mewaspadai gejolak keuangan global. Dengan kebijakan ekonomi yang tepat, KEN yakin perekonomian Indonesia tahun depan akan tumbuh dengan laju 6,4 persen. Menurut KEN, tingkat konsumsi, investasi, dan ekspor akan mendorong pertumbuhan ekonomi kita secara serentak. Semetnara total out put perekonomian Indonesia diperkirakan mencapai Rp 7.726 triliun. Ini dikarenakan Indonesia baru memasuki fasa ekspansinya.
Meski begitu, lembaga penasehat ekonomi Presiden ini berharap pemerintah mewaspadai tantangan dan risiko di tahun mendatang. Tantangan tersebut baik gejolak keuangan dunia maupun faktor dalam negeri yang bisa berakibat buruk pada stabilitas ekonomi makro.

Pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor non migas Indonesia yang pada triwulan IV-2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17% dan masih berlanjut pada Januari 2010. Peningkatan ekspor tidak hanya terjadi pada komoditas pertambangan dan pertanian, tetapi juga ekspor komoditas manufaktur mulai mengalami peningkatan. Perkembangan ini mendukung pertumbuhan di sektor industri dan sektor perdagangan yang lebih tinggi dari perkiraan.  Sementara itu, aktivitas impor sedikit meningkat sejalan dengan peningkatan ekspor tersebut, meskipun pada tingkat yang masih rendah. Transaksi berjalan di triwulan I-2010 diperkirakan mencatat surplus yang lebih besar dari perkiraan semula.   Sementara itu, keyakinan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia yang semakin membaik  tercermin pada surplus transaksi modal dan finansial yang masih cukup tinggi. Dengan berbagai perkembangan tersebut, untuk keseluruhan tahun 2010 surplus NPI diperkirakan lebih baik dari perkiraan semula.
Disamping kinerja ekspor yang membaik tersebut, kegiatan konsumsi swasta juga menunjukan perbaikan. Hal ini dikonfirmasi oleh peningkatan berbagai indikator konsumsi seperti impor barang konsumsi, penjualan mobil dan motor, serta penjualan ritel. Ke depan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap meningkat sejalan dengan pendapatan yang lebih tinggi karena income effect dari perbaikan ekspor dan terjaganya tingkat keyakinan konsumen. 

Di sisi harga, tekanan inflasi diyakini belum akan disignifikan setidaknya pada semester I-2010. Perkembangan inflasi dalam 2 bulan pertama 2010 masih tetap terjaga pada tingkat yang rendah.  Relatif terkendalinya inflasi juga tercermin pada perkembangan inflasi inti yang turun dari 4,43% (yoy) pada bulan Januari 2010 menjadi 3,88% (yoy) pada bulan Februari 2010. Kenaikan inflasi IHK di awal tahun 2010 terbukti bersifat temporer, terutama karena kenaikan harga beras, dan diperkirakan tidak akan terjadi lagi lonjakan harga dalam beberapa bulan ke depan seiring dengan telah datangnya musim panen di berbagai daerah. Kemungkinan kenaikan tarif TDL, apabila kemudian tetap diberlakukan, diperkirakan juga tidak akan menimbulkan dampak yang besar terhadap inflasi sepanjang diterapkan terutama pada kelompok pelanggan besar. Secara keseluruhan, inflasi ke depan diyakini akan tetap terjaga pada sasaran yang ditetapkan yakni 5%+1% pada tahun  2010 dan 2011. Sehingga semua hal tersebut di atas menimbulkan keyakinan pada investor asing terhadap Prospek Ekonomi Indonesia yang semakin membaik tercermin pada surplus transaksi modal & financial yang masih cukup tinggi.

>>http://berita.liputan6.com/ekbis/201012/312293/Prospek.Ekonomi.Indonesia.2011.Menjanjikan
>>http://www.bi.go.id/web/id/Ruang+Media/Siaran+Pers/sp_11032010.htm
Jam : 17.00 WIB

Tugas 3 Perekonomian Indonesia

Pengentasan Kemiskinan Sebagai Sasaran Strategis Dalam Pembangunan Di Indonesia
Kemiskinan di Indonesia meliputi kemiskinan yang bersifat relatif (Relative Poverty) dan yang bersifat absolut (Absolute Poverty). Kemiskinan Absolut diindikasikan dengan suatu tingkat kemiskinan yang di bawah itu kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi. Sedangkan Kemiskinan Relatif adalah suatu tingkat kemiskinan dalam hubungannya dengan suatu rasio Garis Kemiskinan Absolut atau proporsi distribusi pendapatan (kesejahteraan) yang timpang (tidak merata).
  • Definisi Kemiskinan
Arti kemiskinan manusia secara umum adalah “kurangnya kemampuan esensial manusia terutama dalam hal “ke-melek-huruf-an” (kemampuan membaca;literacy) serta tingkat kesehatan dan gizi”. Selain itu diartikan pula sebagai kurangnya pendapatan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi minimum. Definisi atau pengertian kemiskinan perlu pula dibedakan antara Kemiskinan Absolut (Absolute Poverty) dan Kemiskinan Relatif (Relative Poverty). Kemiskinan Absolut diindikasikan dengan suatu tingkat kemiskinan yang di bawah itu kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi. Sedangkan Kemiskinan Relatif adalah suatu tingkat kemiskinan dalam hubungannya dengan suatu rasio Garis Kemiskinan Absolut atau proporsi distribusi pendapatan (kesejahteraan) yang timpang (tidak merata) (ADB, 1999: 26).
  • Kemiskinan Absolut.
Sayogyo di dalam Sumardi & Evers (199.: 21) misalnya, memberi batasan, seseorang disebut miskin bila pendapatannya setara atau kurang dari 320 kg beras per tahun per orang untuk di pedesaan dan 480 kg beras per tahun per orang untuk di perkotaan. Papanek (Ibid) menggunakan ukuran kalori. Kalori yang dibutuhkan seseorang untuk hidup per hari adalah 1.821 kalori atau setara dengan sekitar 0,88 kg beras bila dikaitkan dengan dengan ukuran yang digunakan Sayogyo. Apa yang dikemukakan di atas baru merupakan kebutuhan makanan, belum termasuk kebutuhan lain-lain seperti sandang, pemukiman, pendidikan, dan lain-lain. Cara yang lebih akurat untuk menetapkan garis kemiskinan adalah dengan menghitung Kebutuhan Hidup Minimal (KHM) tiap rumah tangga. Kebutuhan hidup dalam hal ini adalah kebutuhan pokok (basic needs) yang meliputi makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan partisipasi masyarakat. Ukuran ini akan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya serta sesuai jenis-jenis kebutuhan pokoknya (Sumardi & Evers: VI, 22).

Versi lain dalam mendefinisikan Kemiskinan Absolute adalah: “tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) terhadap makanan, pakaian dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup”. Angka KFM ini berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu daerah ke daerah lainnya serta bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu. PBB pernah menentapkan “Garis Kemiskinan Internasional” sebesar US $ 125,- per orang per tahun atas dasar harga konstan tahun 1980. Itu berarti seseorang yang konsumsinya kurang dari US $ 125,- per tahun dapat digolongkan berada di bawah Garis Kemiskinan atau
berada dalam Kemiskinan Absolut (Todaro, 1995: 31-32).
  • Kemiskinan Relatif.
Secara sederhana Kemiskinan Relatif dapat dilihat dengan memperbandingkan proporsi atau persentase penduduk yang berada pada dan di bawah Garis Kemiskinan Absolut dengan jumlah penduduk keseluruhan. Untuk lebih memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang tingkat kemiskinan relatif atau pemerataan kesejahteraan ekonomi perlu diketahui distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan sering diukur dengan membagi penduduk menjadi 5 atau 10 kelompok (quintiles atau deciles) sesuai dengan tingkat pendapatannya. Kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok pendapatan. Selanjutnya ukuran distribusi pendapatan dapat diukur dengan “Rasio Konsentrasi Gini” (Gini Consentration Ratio) atau lebih sederhana disebut dengan Koefisien Gini. Koefisien Gini adalah ukuran ketidakseimbangan/ ketimpangan (pendapatan, kesejahteraan) agregat (keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Dalam prakteknya, Koefisien Gini pada negara-negara yang dikenal begitu tajam ketimpangan kesejahteraan di kalangan penduduknya berkisar antara 0,50 hingga 0,70. Sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal paling merata,
Koefisien Gini berkisar antara 0,20 sampai 0,35 (Todaro, 1995: 150-151).


A. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Menganalisa faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah sesuatu yang komplek. Mulai dari faktor sumberdaya manusianya, kondisi alam dan geografis, kondisi sosial-budaya, sampai kepada sistem ekonomi dan politik yang menyebabkan timpang atau tidak meratanya distribusi pendapatan. Kerapkali faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan tumpang tindih satu sama lain. Faktor-faktor rendahnya mutu sumberdaya manusia, kondisi alam dan geografis, serta kondisi sosial-budaya berkaitan dengan tingkat keterbelakangan (underdevelopment) suatu masyarakat yang pada dasarnya dapat diperbaiki. Namun ada pula faktor kondisi alam dan geografis yang tidak dapat lagi tertanggulangi sehingga menyebabkan Kemiskinan Absolut yang menetap sifatnya. Tapi banyak ahli yang lebih meyakini bahwa faktor dominan penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan ekonomi, sosial ataupun politik yang mengakibatkan apa yang disebut Kemiskinan Struktural (Struktural Poverty), baik pada tatanan negara maupun internasional. Fenomena Kemiskinan Struktural
ini dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
 
1. Bias Kota (Urban Bias).
Pada banyak negara sedang berkembang (developing countries) dianut faham modernisasi dalam pembangunannya. Salah satu kelemahan dalam faham modernisasi adalah tidak dapat dihindarkannya perencanaan pembangunan yang terpusat (centralized planning). Kerapkali para perencana pembangunan berfikir sebagai “orang kota” yang merencanakan keharusan-keharusan bagi masyarakat pedesaan secara “top down approach” yang tidak sesuai dengan hajat hidupnya. Akibatnya struktur sosial masyarakat di pedesaan mengalami desintegration dan differensiation ibarat tercabut dari akarnya. Dalam kondisi yang demikian, bila diamati secara cermat, banyak unit-unit keluarga ataupun individu yang secara sosial dan ekonomi tidak dapat survive dan jatuh ke jurang kemelaratan.
2. Dualisme Desa-Kota (Rural-Urban Dualism).
Juga dalam paradigma modernisasi, sadar atau tidak sadar diciptakan pembagian peran (division of role) antara desa dan kota. Desa diposisikan sebagai daerah pertanian, tempat memproduksi bahan baku, dan pemasok tenaga kerja kasar (murah). Sementara kota mempunyai posisi sebagai daerah industri, perdagangan, pusat pemerintahan, dan sumber tenaga kerja terampil. Dengan pembagian posisi yang demikian, secara struktural tercipta kondisi di mana masyarakat pedesaan secara relatif lebih miskin dari pada masyarakat perkotaan. Dalam kemiskinan relatifnya, warga pedesaan seringkali terjerumus ke jurang kemiskinan absolut.

3. Proletarianisasi (Proletarianization).
Proletarianisasi adalah suatu proses di mana Petani Pemilik yang mandiri (self-reliant) secara berangsur-angsur mengalami degradasi menjadi Petani Kecil (Small Farmer), Petani Tak Berlahan/Buruh Tani (Landless Farmer/Farm Labourer), dan mungkin selanjutnya atau generasi berikutnya menjadi Buruh Industri yang sangat tidak mandiri. Manakala industri tidak mampu memberikan pekerjaan, tiba saatnya para Buuruh Industri tersebut terjebak dalam jurang kemiskinan. Proses ini terjadi karena perubahan struktur sosial dan ekonomi di pedesaan sebagai dampak negatif dari modernisasi. Persaingan yang tidak sehat antara Petani Besar/Kaya (Landlord) di satu pihak dengan Petani Kecil dan Buruh Tani (Peasant) dilain pihal, di mana program-program pemerintah dan proses modernisasi itu sendiri lebih memfasilitasi Petani Kaya, menyebabkan pertanian skala kecil menjadi tidak ekonomis dan mengalami kebangkrutan. Sebaliknya Petani Besar/Kaya justru tumbuh semakin besar dan kaya pertanian kapitalis (Capitalist Farming). Proses transformasi ini dalam prakteknya tidak lepas dari ekspansi ekonomi pemilik-pemilik modal (kaum
Bourgeaucy) dari kota ke desa.

4. Marjinalisasi (Marginalization).
Proletarianisasi itu sendiri sesungguhnya suatu bentuk proses marjinalisasi di pedesaan. Di perkotaan, marjinalisasi terjadi antara Sektor Formal yang memarjinalkan Sektor Informal, konglomerasi yang memarjinalkan perdagangan-perdagangan kecil/eceran, termasuk aktivitas-aktivitas yang berfaham modernisasi memarjinalkan aktivitas-aktivitas tradisional. Ujungnya adalah kebangkrutan dari mereka yang termarjinalkan. Pedagang Kaki Lima yang setiap saat bisa “ditertibkan”, tukang becak yang setiap saat becaknya bisa “diamankan”, dan banyak lagi contohnya adalah produk dari proses marjinalisasi.

5. Perusakan Lingkungan (Environmental Destruction).
Perusakan lingkungan dikarenakan penyelenggaraan pembangunan yang tidak berkelanjutan (unsustainable development) dan tidak ramah lingkungan (environmentally unfriendly) juga berakhir pada proses pemiskinan (povertization). Dalam kasus ini antara lain erosi lahan (soil erosion) karena penggunaannya yang melewati daya dukungnya. Erosi tersebut bisa sampai pada tingkat desertization (menjadi padang pasir) sehingga lahan tidak dapat lagi ditanami dan hilang produktivitasnya, sampai pada keadaan di mana penghuninya mengalami kelaparan (famine). Kasus lain adalah penggundulan hutan (deforestration) yang berakibat pada rusaknya ekosistem (ecosystem) yang berarti juga hilangnya sumber penghidupan dari masyarakat yang hidupnya bergantung pada keberadaan ekosistem tersebut. Penggundulan hutan juga berakibat pada erosi, desertization, dan bajir yang memperberat beban kehidupan masyarakat miskin. Di perkotaan dan pusat-pusat industri terjadi pencemaran (polution) lingkungan, air, udara dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat miskin perkotaan yang mendiami daerah-daerah kumuh berupa gangguan kesehatan dan tingginya tingkat kematian (mortality rate). Perusakan lingkungan ini pada akhirnya bermuara pada pemiskinan.


B. Penyebaran Kantong-Kantong Kemiskinan
Merupakan suatu fenomena yang umum dijumpai bahwa semakin jauh suatu tempat dari Titik Pertumbuhan (Growth Centre) akan semakin tingkat kemiskinan penghuninya. Ibarat sebuah gunung, kalau puncaknya adalah titik pertumbuhan, maka tingkat kemiskinan pada kaki gunung akan lebih tinggi dibandingkan dengan pada lerengnya. Titik Pertumbuhan itu sendiri biasanya berlokasi di perkotaan yang merupakan pusat administrasi pemerintahan, pusat perdagangan, serta pusat dari berbagai fasilitas sosial dan ekonomi. Penyebaran kantong kemiskinan bisa diklasifikasi secara umum menjadi; Daerah Terpencil (Remote Area), Daerah Pedesaan (Rural Area), Daerah Pinggiran Kota (Sub-urban Area) dan Daerah
Kumuh Perkotaan (Urban Slum).

1. Daerah Terpencil (Remote Area).
Daerah yang jauh dari Titik Pertumbuhan yang hampir tidak/belum tersentuh oleh pembangunan. Sebab-sebab mengapa belum tersentuh oleh pembangunan bisa karena letak geografis yang menyulitkan, atau karena belum ditemui potensi ekonomi yang bisa dikembangkan sehingga kurang menarik bagi investasi. Contohnya yang akstrim misalnya Lembah Baliem di Irian Jaya atau
Kepulauan Mentawai di Sumatera.

2. Daerah Pedesaan (Rural Area).
Secara relatif daerah pedesaan lebih miskin dari daerah perkotaan. Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan daerah perkotaan di sini adalah daerah yang basis perekonomiannya dari Sektor Pertanian. Hampir pasti kemiskinan dapat dijumpai pada kalangan Petani Berlahan Sempit (Small Farmer), Pekerja Tani atau Petani Tak Berlahan (Landless Farmer), dan sejumlah Pedagang-pedagang Kecil di pedesaan. Dalam klasifikasi ini termasuk daerah pantai (coastal area) dengan Nelayan Kecil dan Pekerja Nelayan-nya.

3. Daerah Pinggiran Kota (Sub-urban Area).
Daerah pinggiran kota mempunyai posisi yang unik. Biasanya basis perekonomiannya merupakan campuran antara pertanian berskala kecil, industri berskala kecil atau industri rumah tangga, perdagangan berskala kecil, pekerja atau buruh industri, serta mereka yang terproletarianisasi dan termarjinalisasi, . Masyarakatnya dapat dikategorikan berpenghasilan menengah ke bawah yang
rentan perekonomiannya dan potesial untuk menjadi miskin.

4. Daerah Kumuh Perkotaan (Urban Slum).
Daerah kumuh perkotaan ini bahkan masih dijumpai pada kota-kota besar seperti Jakarta. Kerapkali tingkat kemiskinannya tidak kalah parah dibandingkan dengan daerah terpencil, daerah pedesaan, ataupun daerah pinggiran kota. Penghuni daerah kumuh perkotaan ini biasanya kaum migrant, mereka yang terproletarianisasi dan termarjinalisasi. Di daerah kumuh perkotaan ini bisa di jumpai pekerja kasar (kuli), pedagang kaki lima (vendor), tukang becak, peminta-
minta, dan lain sebagainya.




C. Kebijaksanaan Dalam Pengentasan Kemiskinan.
Mengingat adanya dua bentuk kemiskinan yaitu Kemiskinan Absolut (Absolute Poverty) dan Kemiskinan Relatif (Relative Poverty) maka pemerintah perlu menetapkan kebijaksanaan (policy; political will), strategi maupun program-program yang spesifik untuk mengentaskan kedua bentuk kemiskinan tersebut. Kemiskinan Absolut harus dilihat sebagai prioritas, darurat (emergency) sifatnya dan memerlukan penanganan jangka pendek sampai menengah, karena biasanya permasalahan yang dihadapi tidak dapat menunggu terlalu lama dan membutuhkan program-program yang bersifat dadakan (crash program) Sedangkan pengentasan Kemiskinan Relatif memerlukan kebijaksanaan, strategi, dan program-program yang konsisten untuk jangka panjang, karena berkaitan dengan mengubah dan
memelihara pemerataan distribusi pendapatan.

1. Pengentasan Kemiskinan Absolut.
Pengentasan Kemiskinan Absolut kerapkali bergelut dengan upaya untuk membebaskan masyarakat dari sindrom-sindrom kemiskinan. Sindrom kemiskinan di sini meliputi kondisi gizi dan kesehatan yang buruk, pendidikan/pengetahuan umum yang sangat minimal, sampai kepada sikap mental berupa keputusasaan, perilaku menyimpang yang bisa berimplikasi kriminalitas. Sindrom-sindrom tadi pada tahap awal memerlukan crash program yang sifat rehabilitative. Dengan kata lain, kondisi gizi dan kesehatannya harus dipulihkan, pendidikan/pengetahuan umumnya ditingkatkan, dan sikap mentalnya diperbaiki. Selanjutnya dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) yang bertujuan meningkatkan potensi kemandiriannya sehingga kembali menjadi
manusia yang produktif.

2. Pengentasan Kemiskinan Relatif.
Sesungguhnya Kemiskinan Relatif tidaklah mungkin dapat dientaskan. Hal yang mungkin dilakukan adalah mempersempit kesenjangan antara Kelompok-kelompok Pendapatan (Income Group) melalui kebijaksanaan pemerintah dan instrumen-intrumen makro ekonomi. Harus diakui bahwa pada negara-negara yang menganut sistem ekonomi pasar (market economy), kebijaksanaan dan instrumen-instrumen untuk itu agak sulit untuk diterapkan. Karena maksud-maksud untuk pemerataan pendapatan seringkali berbenturan dengan kepentingan untuk pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada negara-negara sedang berkembang di mana pembangunan ekonomi justru menyebabkan yang kaya semakin kaya dan sebaliknya yang miskin semakin miskin (ter-proletarianisasi, ter-marjinalisasi). Menurut Todaro (1995: pp 174-175) usaha-usaha memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang dapat ditempuh melalui campur tangan pemerintah
yang meliputi:
• Mengubah distribusi pendapatan secara fungsional melalui pola kebijakan untuk mengubah harga-harga faktor secara positif. Misalnya meningkatkan gaji pegawai negeri, menetapkan upah minimum bagi para pekerja (buruh), kemudahan investasi, keringanan pajak, subsidi tingkat bunga, keringanan bea masuk, dan sebagainya.
• Mengubah distribusi pendapatan melalui redistribusi progresif pemilikan harta. Contoh klasik dan ektrim tentang hal ini adalah Reformasi Lahan (Land Reform). Namun bentuk reformasi lain sebenarnya cukup luas seperti memprioritaskan kredit komersil maupun bersubsidi bagi pengusaha-pengusaha kecil, memberi kesempatan kepada para pekerja untuk turut memiliki saham pada perusahaan, serta pemberdayaan lembaga-lembaga
ekonomi rakyat seperti koperasi, dan lain sebagainya.
• Mengubah distribusi pendapatan golongan atas melalui pajak pendapatan dan kekayaan yang progresif. Dalam hal ini beban pajak dibuat sedemikian rupa sehingga beban yang lebih berat akan dikenakan pada golongan yang berpenghasilan tinggi.
• Mengubah distribusi pendapatan golongan lemah melalui pembayaran tunjangan dan penyediaan barang dan jasa pemerintah. Misalnya , proyek-proyek kesehatan masyarakat di desa-desa dan di daerah-daerah pinggiran kota, pemberian makan siang bagi anak-anak sekolah, perbaikan gizi anak-anak balita, pemberian air bersih serta listrik di pedesaan, tunjangan dan subsidi pangan bagi daerah-daerah pinggiran kota dan pedesaan yang miskin.
  • Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia
Kemiskinan di Indonesia bersifat baik absolut (absolut poverty) maupun relatif (relative poverty). Kemiskinan terjadi karena faktor alam, letak geografis yang jauh dari;
‐ Strategi Pelaksanaan Program
‐ Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin)
‐ Jaringan Pengaman Sosial (JPS)
  • Penanggulangan dan pencegahan kemiskinan akibat krisis, musibah, dan bencana (Rehabilitasi)
‐ Bantuan Pangan
‐ Bantuan Kesehatan
‐ Bantuan Pendidikan
‐ Padat Karya
  • Pemberdayaan penduduk, keluarga dan masyarakat miskin :
a. Pemberdayaan Keluarga Miskin
- Perbaikan Gizi
- Perbaikan Kesehatan
- Pendidikan
- Dll
b. Pemberdayaan Usaha Mikro
- Kewirausahaan
- Modal
- Teknologi
- Manajemen
- Pemasaran, dll
c. Pemberdayaan Wilayah Tertinggal
- Pemukinan
- Tempat Usaha, - dll
 
>>http://www.facebook.com/topic.php?uid=61023383033&topic=8592
Rabu, 11 Mei 2011
Jam : 15.29 WIB